Gamelia Sabarani
Angin sore
telah berhembusan, mentari yang berada di sebelah barat tak lama seakan – akan
hilang di telan bumi. Aku yang saat itu masih tak tau apa-apa asyik bermain dan
bersedagurau dengan kembaranku sendiri dengan di awasin seorang perempuan yang
bernama Mbak Ratmi, ia sengaja bekerja di rumahku untuk merawat dan menjagaku
dan kembaranku saat melakukan aktivitas sehari-hari. Suara adzan tak kusadari
telah berkumandang dengan sekeras mungkin. Aku yang tak lelah bermain akhirnya
terhenti juga kerena telah terjadi suatu kejadian yang menimpaku. Kembaranku
yang asyik berbicang-bicang dengan mbak Ratmi pun akhinya juga berubah dengan wajah
isak tangisan yang tak tega melihatku. Memang saat itu aku terjatuh dari kursi
yang kupanjati saat bermain bersama kembaranku, pada waktu itu Mbak Ratmi yang
juga asyik berbicara dengan kembaranku tak tau aku terjatuh dari kursi, padahal
ia berada disampingku dan seoalah-olah ia tak sadar kejadian apa yang barusan
menimpaku ini. “Aaaaa, mama ayah aku terjatuh.” Dengan berteriak dan menagis
sekeras mungkin. Aku yang masih mungil dengan rambut keritingku itu sudah tak
ada daya dan menangis sekeras mungkin karena terjatuh dari kursi panjang yang
terlentang di depan rumah. Kedua orang tuaku panik melihatku yang terus-terusan
menangis kesakitan. “Kenapa nak, tenang jangan menangis, nanti kalau kamu
menangis terus sakitnya tambah parah.” Dengan lembut ayah mengatakan rayuan itu
kepadaku.
Tanpa
banyak pikir, ayahku lekas memanggilkan tukang pijat agar kedua tanganku tidak
patah dan tidak terjadi apa-apa pada anggota badanku. Dengan kelincahannya si
tukang pijat ia memijat tangan – tanganku, kaki ku, dan anggota tubuh yang lain
yang menurutnya aku merasa sakit. Namun saat itu aku merasa tidak puas dengan
pijatan si tukang pijat, dan aku merasa agak aneh melihat keadaanku. Setelah
beberapa hari berjalan, tenyata rasa sakitku tak sembuh-sembuh, aku merasa
kesakitan pada kedua tanganku, terutama pada tangan bagian kiri. Mungkin mamaku
yang lebih tahu kondisiku lebih banyak berniat langsung memerikasakanku ke
beberapa Rumah Sakit untuk mengetahui lebih lanjut apa yang sebenarnya terjadi
padaku.
Aku yang
tak tau apa-apa hanya bisa mengikuti perintah mamaku. Rasa bingung selalu
muncul di benak hatiku yang kecil ini. Kembaranku yang selalu bersamaku kini
wajahnya terlihat selalu suram karena sering kutinggal pergi untuk mengobati
rasa sakit yang ada di tanganku ini. Rumah Sakit satu demi satu telah kulewati,
dengan berfikir panjang, mamaku mencoba untuk berpaling pada satu Rumah Sakit
saja, agar tahu bagaimana sebenarnya keaadaanku saat ini. Dokterpun telah
memeriksaku dengan teliti dan hati-hati. Dengan kepastian yang benar , Dokter
mengatakan aku terkena patah tulang hasta bagian tangan kiri. Mamaku sangat
tidak percaya dengan kejadian itu. Dan aku hanya meratapi tubuh mama yang
kelihatannya lemas karena kasihan kepadaku yang tangan kiri nya terpaksa harus menjalani operasi. Kedua orang tuaku menyesal
sekali kerena mereka tak bisa ikut menjagaku saat aku bermain.
Hari demi
hari tak terasa cepat berganti dan aku pun juga melewati hari – hariku untuk
pergi ke Rumah Sakit. Mama ku tak lelah mengantarkanku berobat. Pada akhirnya
aku menjalani tahap pertama pengobatanku agar lekas sembuh. Pada tahap itu aku
merasa agak ragu dengan sesuatu yang berwarna putih di balutkan ke tangan
kiriku. Sesuatu itu ternyata bernama gips. Dan ternyata di tanganku telah
terpasang platina yang berfungsi untuk menyambung tulang hastaku yang patah.
Aku yang masih berumur tak kurang 4 tahunpun tetap menganut semua perintah mama
dan sesekali aku selalu menangis kesakitan. Waktu itu operasi yang pertama
telah kulalui dengan tahap-tahap yang telah disarankan oleh dokter, namun tak
ada hasil yang ku peroleh. Sakitku tambah parah karena ulah si tukang pijat
saat memijatku yang terlalu berlebihan. Mungkin juga ini cobaan dari Tuhan
untukku agar tidak nakal lagi saat bermain. Kedua orang tuaku sudah ikhlas
bahwa tahap operasi pertama tak berhasil, namun hal ini bukan menjadi halangan
bagi mereka untuk berjanji menyembuhkanku.
Akhirnya
Mama dan Ayah berusaha untuk tetap memeriksakanku ke Rumah Sakit itu saja
dengan menunggu keputusan-keputusan dari Dokter. Tahap operasi kedua
kelihatannya sama juga dengan tahap operasi pertama, dengan pelepasan platina
yang telah terpasang, tahap ini sebenarnya cukup bagus dengan berbagai macam
saran yang di berikan Dokter, namun fasilitas yang ada belum memadai dan Dokter bedah yang ada di Rumah Sakit itu
kurang berpengalaman, sehingga tahap penyembuhan berjalan tidak dengan
sempurna. Dan aku terkena infeksi, yang membuatku tidak sembuh melainkan harus
operasi pasang platina lagi. Dengan melihat keadaan ini, mamaku berusaha untuk berpindah
Rumah Sakit, yang dituju bukanlah Sidoarjo melainnkan Kota Surabaya yang menurut
mama peralatan dan tenaga ahli dokternya terjamin. Dan tidak akan terjadi
kesalahan lagi seperti operasi-operasi yang sebelumnya telah kujalani.
Setelah beberapa
kali menginap disana, aku terasa bosan dan jenuh dengan apa yang selalu
dilakukan oleh dokter. Kembaranku telah dititipkan kepada tetangga jauhku,
karena tak ada yang merawatnya dan mengurusinya, semua berpaling kepadaku dan
tetap fokus berusaha untuk menyembuhkanku agar tangan kiriku sembuh seperti
tangan anak-anak yang seumurnya. Dalam hati kecilku masih mempunyai rasa iba
kepada kembaranku, karena aku dia tak mendapat kasih sayang dari ayah dan mama
layaknya seperti aku yang selalu di manjakan olehnya. Waktu berlalu seiring
berjalannya hari demi hari. Mamaku berniat mengajakku ke sebuah Rumah Sakit di Dr.
Sutomo yang ada di Surabaya. Mama mengajakku untuk melalukan tahap operasi yang
ketiga, yaitu memasang kembali platina baru ke tanganku karena platina pada
operasi pertama tidak berhasil, malah membuat infeksi pada tangan kiriku. Rawat
inap sudah biasa kujalani untuk melakukan operasi. Dan pada operasi ketiga ini
aku berharap sekali untuk berhasil, agar aku cepat sembuh. Waktu itu aku di
tempatkan di sebuah kamar yang seperti surga bagiku. Kasur yang empuk dengan AC
yang menempel di dinding, dilengkapi TV yang besar juga penerangan yang sangat
indah dan terang, pemandangan indahpun telah terpampang indah di luar kamar inapku.
Aku merasa senang berada di kamar itu, aku seperti tak dioperasi melainkan
seperti berliburan ke suatu tempat yang tak pernah kukunjungi. Ya, nama kamar
itu adalah Graha Amerta yang sering disebut orang – orang kamarnya pejabat.
Semua penyakit bisa teratasi jika telah memasuki kamar itu dan apalagi telah
memasuki Rumah Sakit itu. Aku senang sekali, rasanya tak ingin pulang dan ingin
tinggal disitu selamanya.
Namun tak
lama kemudian di dalam semua kesenanganku pasti ada penderitaanku yang datang.
Yaitu kamar indahku tlah terganti dengan kamar yang menurutku lebih buruk dari
kamar yang pertama kutempati itu. Tak tahu karena apa aku bisa terpindah dari
kamar itu. Yang ku tahu hanay tiba-tiba kursi dorong telah menjemputku dan
rasanya aku tak akan kembali lagi di kamar surgaku ini. Ternyata dugaanku benar
aku dipindah ke tempat yang lebih kecil daripada kamar yang sebelumnya
kutempati. Dengan rasa sendih hatiku telah tersakiti. Aku tak mau menangis lagi
karena, aku kasihan melihat kedua orang tuaku jika aku terlalu sering menangis.
Aku hanya bersikap bingung dan bertanya-tanya kepada kedua orang tuaku untuk
menutupi rasa sedihku ini. “Mama kenapa aku pindah kamar, aku pengen di kamar
yang tadi aja.” Dengan manja aku bertanya kepada mama. “Tidak papa nak, jangan
sedih, kamu dianggap dokter sudah sembuh mangkanya kamu dipindahkan ke tempat
ini.” Dengan rayuannya mama mengatakan itu. Dengan kenyataan ini aku tetap
bersyukur karena orang tuaku telah berusaha agar aku sembuh, jadi aku harus menganut
apa yang harus aku lakukan.
Saat aku
berada di kamar itu rasanya tidak nyaman sekali, kamar yang sudah dibagi dua,
lampu yang menempel sangat redup begitu pula juga tak ada AC dan TV yang sangat
kecil. Semua itu bertolak belakang dengan kamar yang telah kutempati
sebelumnya. Dan aku sudah sadar, kenapa aku ingin kembali ke kamar sebelumnya,
padahal aku kan sudah sembuh dan tinggal menjalani operasi pelepasan platina.
Hari-hari menuju kesembuhanku semakin dekat, justru aku harus semakin senang
karena bisa kembali bertemu dan berkumpul kembali dengan kembaranku.
Ternyata
tanpa kusadari hari telah cepat berjalan, waktu operasi keempatku telah tiba
dengan jadwal pelepasan platina yang ada di tangan hasta kiriku. Waktu itu
banyak keluargaku yang mengantarkanku pergi untuk mengantarkanku operasi yang
terakhir ini. Merekapun berharap agar operasi ini berhasil. Tapi aku masih ragu
dan trauma karena membayangkan gagalnya operasi yang kedua, aku takut kalau
operasi kali ini akan gagal juga, namun aku tak boleh seperti ini , dan aku
tetap harus menghapi semua ini. Operasi ini mungkin berjalan dengan lancar
tetapi tidak tahu kenapa tiba-tiba aku tak mau di operasi. Padahal sebelumnya
aku telah berjanji pada mama bahwa hari ini aku mau dioperasi yang ke sekian
kalinya.
Saatku
memasuki ruang operasi rasanya tempat ini sudah tidak asing bagiku, aku merasa
takut dan merinding jika memasuki tempat
yang seperti ini. Karena aku terlalu sering ku mengunjungi tempat dengan
suasana yang seperti ini. Hatiku sangat berdebar-debar, Dokter dan banyak
suster yang telah mempersiapkan semua peralatan untuk proses operasiku. Aku tak
tinggal diam, aku menagis sekeras mungkin karena pasti setelah ini aku akan di
bius dengan aroma rasa yang tidak kusukai. Ayah dan mama berusaha menenangkanku
agar aku bisa diam dan segera bisa di bius untuk di operasi. Aku tetap tak mau
jika di bius dengan itu. Aku maunya pulang, dan tak mau ti tempat ini lagi. Apa
boleh buat, Dokter melihatku seperti ini rewel dan tidak menganut oleh rayuan –
rayuan, akhirnya ia menyuruh suster untuk mengambil boneka tingki wingki di
sebuah lemari, sebuah boneka dari kartun kesukaanku. Dan akhirnya aku tergoda
untuk memainkannya. Tanpa kusadari, Dokter dan para susternya langsung
memberikanku sebuah bius, dan akhirnya operasi telah berjalan.
Aku sadar
pada saat operasi telah berjalan dengan lancar. Ayah dan mamaku telah menungguku
di sebelahku. Aku masih bingung, seperti ada yang berubah dengan aku. “Mama
tanganku kok seperti ini ?” Tanyaku dengan perasaan yang aneh. “Selamat ya nak,
tanganmu kini sudah seperti dulu lagi, cuman tanganmu masih beda sedikit aja
kok.” Dengan kegembiraannya mama megucapkannya kepadaku. “Tak apa-apa maa, yang
penting aku nggak di bius lagi meskipun dengan rasa strawberi atau jeruk
pokoknya aku tidak mau lagi.” Dengan cemberut aku mengatakan semua perasaanku
kepada mama. Dengan bergurau ayah berkata,”Tadi kata Doker sudah pakai rasa
strawbery, gimana rasanya enak kan ?” “Enak sedikit yah.” Kataku dengan
tertawa. Akhirnya di dalam suatu penderitaanku pasti akan hadir sebuah
kebahagiaanku. Aku, Ayah, dan Mama dengan keluargaku yang telah mengantarkanku
senang sekali karena alhamdulillah operasi yang terakhir berhasil dengan lancar.
Dan semua keluargaku berencana untuk makan-makan bersama di sebuah tempat
makan. Aku juga sangat senang sekali karena aku telah bebas dari Rumah Sakit
yang selalu memerintah dan mengaturku. Dan kini aku juga bisa bertemu dengan
saudara kembaranku untuk berkumpul kembali.
Namun,
nasib Mbak Ratmi sangat malang,
kelihatannya ia tidak bekerja lagi di Rumahku untuk menemani dan menjagaku
lagi. Karena ayah dan mama tidak suka sikapnya, ia telah lalai untuk menjagaku,
sebenarnya kalau ia tak teledor untuk mengawasiku aku tidak akan terjatuh dari
kursi. Dan mama dan ayah mungkin sudah mencarikan penggantinya yang siap
melayaniku dan kembaranku.
Dan dengan
keadaan ini aku akan menjalani hidup di dunia. Aku harus tetap mensyukurinya,
meskipun beberapa bulan setelah operasi, tanganku harus digendong
agar tetap aman dan tidak akan terjadi apa-apa padaku. Serta meskipun ayah dan
mama telah melarangku untuk besekolah, aku tetap memaksanya agar aku bisa
mengikuti pelajaran di awal aku bersekolah ini yaitu di TK A. Sehingga aku tak
akan tertinggal, dan aku ini ingin menjadi seperti kembaranku maupun anak yang
seumuranku.
0 komentar:
Posting Komentar