CERPEN

Posted by : Unknown di 7:34:00 PM



Penderitaan di Masa Kecilku
Gamelia Sabarani

Angin sore telah berhembusan, mentari yang berada di sebelah barat tak lama seakan – akan hilang di telan bumi. Aku yang saat itu masih tak tau apa-apa asyik bermain dan bersedagurau dengan kembaranku sendiri dengan di awasin seorang perempuan yang bernama Mbak Ratmi, ia sengaja bekerja di rumahku untuk merawat dan menjagaku dan kembaranku saat melakukan aktivitas sehari-hari. Suara adzan tak kusadari telah berkumandang dengan sekeras mungkin. Aku yang tak lelah bermain akhirnya terhenti juga kerena telah terjadi suatu kejadian yang menimpaku. Kembaranku yang asyik berbicang-bicang dengan mbak Ratmi pun akhinya juga berubah dengan wajah isak tangisan yang tak tega melihatku. Memang saat itu aku terjatuh dari kursi yang kupanjati saat bermain bersama kembaranku, pada waktu itu Mbak Ratmi yang juga asyik berbicara dengan kembaranku tak tau aku terjatuh dari kursi, padahal ia berada disampingku dan seoalah-olah ia tak sadar kejadian apa yang barusan menimpaku ini. “Aaaaa, mama ayah aku terjatuh.” Dengan berteriak dan menagis sekeras mungkin. Aku yang masih mungil dengan rambut keritingku itu sudah tak ada daya dan menangis sekeras mungkin karena terjatuh dari kursi panjang yang terlentang di depan rumah. Kedua orang tuaku panik melihatku yang terus-terusan menangis kesakitan. “Kenapa nak, tenang jangan menangis, nanti kalau kamu menangis terus sakitnya tambah parah.” Dengan lembut ayah mengatakan rayuan itu kepadaku.

            Tanpa banyak pikir, ayahku lekas memanggilkan tukang pijat agar kedua tanganku tidak patah dan tidak terjadi apa-apa pada anggota badanku. Dengan kelincahannya si tukang pijat ia memijat tangan – tanganku, kaki ku, dan anggota tubuh yang lain yang menurutnya aku merasa sakit. Namun saat itu aku merasa tidak puas dengan pijatan si tukang pijat, dan aku merasa agak aneh melihat keadaanku. Setelah beberapa hari berjalan, tenyata rasa sakitku tak sembuh-sembuh, aku merasa kesakitan pada kedua tanganku, terutama pada tangan bagian kiri. Mungkin mamaku yang lebih tahu kondisiku lebih banyak berniat langsung memerikasakanku ke beberapa Rumah Sakit untuk mengetahui lebih lanjut apa yang sebenarnya terjadi padaku.

Aku yang tak tau apa-apa hanya bisa mengikuti perintah mamaku. Rasa bingung selalu muncul di benak hatiku yang kecil ini. Kembaranku yang selalu bersamaku kini wajahnya terlihat selalu suram karena sering kutinggal pergi untuk mengobati rasa sakit yang ada di tanganku ini. Rumah Sakit satu demi satu telah kulewati, dengan berfikir panjang, mamaku mencoba untuk berpaling pada satu Rumah Sakit saja, agar tahu bagaimana sebenarnya keaadaanku saat ini. Dokterpun telah memeriksaku dengan teliti dan hati-hati. Dengan kepastian yang benar , Dokter mengatakan aku terkena patah tulang hasta bagian tangan kiri. Mamaku sangat tidak percaya dengan kejadian itu. Dan aku hanya meratapi tubuh mama yang kelihatannya lemas karena kasihan kepadaku yang tangan kiri nya terpaksa harus  menjalani operasi. Kedua orang tuaku menyesal sekali kerena mereka tak bisa ikut menjagaku saat aku bermain.

Hari demi hari tak terasa cepat berganti dan aku pun juga melewati hari – hariku untuk pergi ke Rumah Sakit. Mama ku tak lelah mengantarkanku berobat. Pada akhirnya aku menjalani tahap pertama pengobatanku agar lekas sembuh. Pada tahap itu aku merasa agak ragu dengan sesuatu yang berwarna putih di balutkan ke tangan kiriku. Sesuatu itu ternyata bernama gips. Dan ternyata di tanganku telah terpasang platina yang berfungsi untuk menyambung tulang hastaku yang patah. Aku yang masih berumur tak kurang 4 tahunpun tetap menganut semua perintah mama dan sesekali aku selalu menangis kesakitan. Waktu itu operasi yang pertama telah kulalui dengan tahap-tahap yang telah disarankan oleh dokter, namun tak ada hasil yang ku peroleh. Sakitku tambah parah karena ulah si tukang pijat saat memijatku yang terlalu berlebihan. Mungkin juga ini cobaan dari Tuhan untukku agar tidak nakal lagi saat bermain. Kedua orang tuaku sudah ikhlas bahwa tahap operasi pertama tak berhasil, namun hal ini bukan menjadi halangan bagi mereka untuk berjanji menyembuhkanku.

Akhirnya Mama dan Ayah berusaha untuk tetap memeriksakanku ke Rumah Sakit itu saja dengan menunggu keputusan-keputusan dari Dokter. Tahap operasi kedua kelihatannya sama juga dengan tahap operasi pertama, dengan pelepasan platina yang telah terpasang, tahap ini sebenarnya cukup bagus dengan berbagai macam saran yang di berikan Dokter, namun fasilitas yang ada belum memadai dan  Dokter bedah yang ada di Rumah Sakit itu kurang berpengalaman, sehingga tahap penyembuhan berjalan tidak dengan sempurna. Dan aku terkena infeksi, yang membuatku tidak sembuh melainkan harus operasi pasang platina lagi. Dengan melihat keadaan ini, mamaku berusaha untuk berpindah Rumah Sakit, yang dituju bukanlah Sidoarjo melainnkan Kota Surabaya yang menurut mama peralatan dan tenaga ahli dokternya terjamin. Dan tidak akan terjadi kesalahan lagi seperti operasi-operasi yang sebelumnya telah kujalani.

Setelah beberapa kali menginap disana, aku terasa bosan dan jenuh dengan apa yang selalu dilakukan oleh dokter. Kembaranku telah dititipkan kepada tetangga jauhku, karena tak ada yang merawatnya dan mengurusinya, semua berpaling kepadaku dan tetap fokus berusaha untuk menyembuhkanku agar tangan kiriku sembuh seperti tangan anak-anak yang seumurnya. Dalam hati kecilku masih mempunyai rasa iba kepada kembaranku, karena aku dia tak mendapat kasih sayang dari ayah dan mama layaknya seperti aku yang selalu di manjakan olehnya. Waktu berlalu seiring berjalannya hari demi hari. Mamaku berniat mengajakku ke sebuah Rumah Sakit di Dr. Sutomo yang ada di Surabaya. Mama mengajakku untuk melalukan tahap operasi yang ketiga, yaitu memasang kembali platina baru ke tanganku karena platina pada operasi pertama tidak berhasil, malah membuat infeksi pada tangan kiriku. Rawat inap sudah biasa kujalani untuk melakukan operasi. Dan pada operasi ketiga ini aku berharap sekali untuk berhasil, agar aku cepat sembuh. Waktu itu aku di tempatkan di sebuah kamar yang seperti surga bagiku. Kasur yang empuk dengan AC yang menempel di dinding, dilengkapi TV yang besar juga penerangan yang sangat indah dan terang, pemandangan indahpun  telah terpampang indah di luar kamar inapku. Aku merasa senang berada di kamar itu, aku seperti tak dioperasi melainkan seperti berliburan ke suatu tempat yang tak pernah kukunjungi. Ya, nama kamar itu adalah Graha Amerta yang sering disebut orang – orang kamarnya pejabat. Semua penyakit bisa teratasi jika telah memasuki kamar itu dan apalagi telah memasuki Rumah Sakit itu. Aku senang sekali, rasanya tak ingin pulang dan ingin tinggal disitu selamanya.

Namun tak lama kemudian di dalam semua kesenanganku pasti ada penderitaanku yang datang. Yaitu kamar indahku tlah terganti dengan kamar yang menurutku lebih buruk dari kamar yang pertama kutempati itu. Tak tahu karena apa aku bisa terpindah dari kamar itu. Yang ku tahu hanay tiba-tiba kursi dorong telah menjemputku dan rasanya aku tak akan kembali lagi di kamar surgaku ini. Ternyata dugaanku benar aku dipindah ke tempat yang lebih kecil daripada kamar yang sebelumnya kutempati. Dengan rasa sendih hatiku telah tersakiti. Aku tak mau menangis lagi karena, aku kasihan melihat kedua orang tuaku jika aku terlalu sering menangis. Aku hanya bersikap bingung dan bertanya-tanya kepada kedua orang tuaku untuk menutupi rasa sedihku ini. “Mama kenapa aku pindah kamar, aku pengen di kamar yang tadi aja.” Dengan manja aku bertanya kepada mama. “Tidak papa nak, jangan sedih, kamu dianggap dokter sudah sembuh mangkanya kamu dipindahkan ke tempat ini.” Dengan rayuannya mama mengatakan itu. Dengan kenyataan ini aku tetap bersyukur karena orang tuaku telah berusaha agar aku sembuh, jadi aku harus menganut apa yang harus aku lakukan.

Saat aku berada di kamar itu rasanya tidak nyaman sekali, kamar yang sudah dibagi dua, lampu yang menempel sangat redup begitu pula juga tak ada AC dan TV yang sangat kecil. Semua itu bertolak belakang dengan kamar yang telah kutempati sebelumnya. Dan aku sudah sadar, kenapa aku ingin kembali ke kamar sebelumnya, padahal aku kan sudah sembuh dan tinggal menjalani operasi pelepasan platina. Hari-hari menuju kesembuhanku semakin dekat, justru aku harus semakin senang karena bisa kembali bertemu dan berkumpul kembali dengan kembaranku.
Ternyata tanpa kusadari hari telah cepat berjalan, waktu operasi keempatku telah tiba dengan jadwal pelepasan platina yang ada di tangan hasta kiriku. Waktu itu banyak keluargaku yang mengantarkanku pergi untuk mengantarkanku operasi yang terakhir ini. Merekapun berharap agar operasi ini berhasil. Tapi aku masih ragu dan trauma karena membayangkan gagalnya operasi yang kedua, aku takut kalau operasi kali ini akan gagal juga, namun aku tak boleh seperti ini , dan aku tetap harus menghapi semua ini. Operasi ini mungkin berjalan dengan lancar tetapi tidak tahu kenapa tiba-tiba aku tak mau di operasi. Padahal sebelumnya aku telah berjanji pada mama bahwa hari ini aku mau dioperasi yang ke sekian kalinya.

Saatku memasuki ruang operasi rasanya tempat ini sudah tidak asing bagiku, aku merasa takut  dan merinding jika memasuki tempat yang seperti ini. Karena aku terlalu sering ku mengunjungi tempat dengan suasana yang seperti ini. Hatiku sangat berdebar-debar, Dokter dan banyak suster yang telah mempersiapkan semua peralatan untuk proses operasiku. Aku tak tinggal diam, aku menagis sekeras mungkin karena pasti setelah ini aku akan di bius dengan aroma rasa yang tidak kusukai. Ayah dan mama berusaha menenangkanku agar aku bisa diam dan segera bisa di bius untuk di operasi. Aku tetap tak mau jika di bius dengan itu. Aku maunya pulang, dan tak mau ti tempat ini lagi. Apa boleh buat, Dokter melihatku seperti ini rewel dan tidak menganut oleh rayuan – rayuan, akhirnya ia menyuruh suster untuk mengambil boneka tingki wingki di sebuah lemari, sebuah boneka dari kartun kesukaanku. Dan akhirnya aku tergoda untuk memainkannya. Tanpa kusadari, Dokter dan para susternya langsung memberikanku sebuah bius, dan akhirnya operasi telah berjalan.

Aku sadar pada saat operasi telah berjalan dengan lancar. Ayah dan mamaku telah menungguku di sebelahku. Aku masih bingung, seperti ada yang berubah dengan aku. “Mama tanganku kok seperti ini ?” Tanyaku dengan perasaan yang aneh. “Selamat ya nak, tanganmu kini sudah seperti dulu lagi, cuman tanganmu masih beda sedikit aja kok.” Dengan kegembiraannya mama megucapkannya kepadaku. “Tak apa-apa maa, yang penting aku nggak di bius lagi meskipun dengan rasa strawberi atau jeruk pokoknya aku tidak mau lagi.” Dengan cemberut aku mengatakan semua perasaanku kepada mama. Dengan bergurau ayah berkata,”Tadi kata Doker sudah pakai rasa strawbery, gimana rasanya enak kan ?” “Enak sedikit yah.” Kataku dengan tertawa. Akhirnya di dalam suatu penderitaanku pasti akan hadir sebuah kebahagiaanku. Aku, Ayah, dan Mama dengan keluargaku yang telah mengantarkanku senang sekali karena alhamdulillah operasi yang terakhir berhasil dengan lancar. Dan semua keluargaku berencana untuk makan-makan bersama di sebuah tempat makan. Aku juga sangat senang sekali karena aku telah bebas dari Rumah Sakit yang selalu memerintah dan mengaturku. Dan kini aku juga bisa bertemu dengan saudara kembaranku untuk berkumpul kembali.

Namun, nasib Mbak  Ratmi sangat malang, kelihatannya ia tidak bekerja lagi di Rumahku untuk menemani dan menjagaku lagi. Karena ayah dan mama tidak suka sikapnya, ia telah lalai untuk menjagaku, sebenarnya kalau ia tak teledor untuk mengawasiku aku tidak akan terjatuh dari kursi. Dan mama dan ayah mungkin sudah mencarikan penggantinya yang siap melayaniku dan kembaranku.

Dan dengan keadaan ini aku akan menjalani hidup di dunia. Aku harus tetap mensyukurinya, meskipun beberapa bulan setelah operasi, tanganku harus digendong agar tetap aman dan tidak akan terjadi apa-apa padaku. Serta meskipun ayah dan mama telah melarangku untuk besekolah, aku tetap memaksanya agar aku bisa mengikuti pelajaran di awal aku bersekolah ini yaitu di TK A. Sehingga aku tak akan tertinggal, dan aku ini ingin menjadi seperti kembaranku maupun anak yang seumuranku.




 

0 komentar:

Posting Komentar